Adat bo oadatan, adat bo atorang sampai ke dia’ ko ada-adat merupakan kalimat yang sering muncul dari bibir
sebagian besr masyarakat Bolmong Raya. Saya pribadi tidak yakin bahwa seringnya
kalimat ini diucpkan berarti masyarakat masih hidup dalam alam yang beradat
istiadat seperti masa lalu. Kalimat-kalimat ini sepanjang yang saya lihat
nyaris sama dengan lagi Miras dari
Rhoma Irama yang kita dengarkan dengan penuh penghayatan sambil bergoyong dan
boto cap tikus di tangan kanan. Kalimat-kalimat ini bagaimanapun harus kita
akui dengan sedih bhwa dia belum meresap ke hati, dia hanya diucapkan begitu
saja dan denting suaranya sekalipun langsung membumbung ke langit ke tujuh
tanpa ada jejaknya di bumi—nyaris sama dengan asap kebakaran yang menghebohkan
namun asap itu tak pernah bertahan lama di tempat kejadian. Meliht kondisi ini,
saya memandang wajar jika ada masyarkat yang memndang di bumi para Bogani ini
sudah tidak beradat istiadat sehingga tanahnyapun tak bisa lagi digolongkan
dalam wilayah dat dan hukum-hukum adat tak lagi mengikat.
Namun seringnya pengucapan kalimat-kalimat
diatas menandakan bahwa adat pernah ditegakan di BMR, setidaknya para orang tua
kita pernah mengalami hal itu. Karenanya kalimat-kalimat diatas oleh para
pengucapnya dipandng sakral sehingga selalu diucapkan dalam melihat suatu
persoalan. Bahkan ada dari para pengucap yang rata-rata sudaah sepuh ini yang
berkeyakinan bahwa BMR pernah jaya ketika adat istiadat benar-benar ditegakan.
Dengan begini, kita patut bersyukur masih ada orang tua kita yang melontarkan
kalimat-kalimat diatas. Ini berrti jejak yang ditinggalkan masa lalu kita
belumlah terlalu tertimbun oleh kehidupan masa kini sehingga kita bisa kembli
menelusurinya. Kalau pun bukan untuk kejayaan kita maka minimal kita bisa
bernostalgia krena kehidupan masa lalu kita merupakan bagian dari sejarah suatu
peradaban.
Terkait dengan itu, persoalan Ki Sinungkudan
atau orang yang diberi tongkat merupakan bagian dari kalimat-kalimat di atas.
Dalam khasana budaya Bolmong, tongkat merupakan penopang, penunjuk arah juga
merupakan bagian dari kebijaksanaan. Ki Sinungkudan sesungguhnya melekat pada
eksekutif atau kalau tidak salah adat kita sebut saja Kinalang. Saya katakan
“kalau tidak salah adat” karena yang disebut Kinalang sendiri bukan sekadar
eksekutif tapi juga terikat dalam aliran dari turunan Mokodoludut. Hal ini akan
menarik untuk dibahas, terutama dalam merevisi atoeran-atoeran tempo doeloe
sehingga bisa sesuai dengan zaman. Tapi nantilah hal ini kita bahas.
Kembali ke Ki Sinungkudan, gelar ini memang
langsung melekat pad siapapun yang terpilih menjadi top eksekutif. Tanpa
dikukuhkan pun top eksekutif tetaplah Ki Sinungkudan. Tapi menurut saya, nilai
positifnya akan lebih besar jika dilakukan pengukuhan. Ki Sinungkudan adalah
simbol, tentu penyimbolannya semestinya diketahui dan disaksikan oleh
masyrakat.
Pokok dari pengukuhan Ki Sinungkudan
sebenarnya adalah dodandian. Mungkin tidak tepat kalau disebut dodandian
Paloko-Kinalang mengingat saya belum bisa memastikan apakah eksekutif sekarang
(baik Bupati, Walikota dan Insya Allah Gubernur Provinsi Bolaang Mongondow Raya
nanti) bisa disebut Kinalang. Namun jelas-jelas eksekutif adalah Ki
Sinungkudan. Sementara wakil rakyat dalam pengertian adat tak bisa lain tetap
disebut Paloko. Karena itu, dalam pengukuhan Ki Sinungkudan bisa juga acara
intinya adalah DODANDIAN PALOKO – KI SINUNGKUDAN.
Sesungguhnya, menurut hikayat, dodandian yang
kemudian lebih dikenal dengan dodandian Paloko-Kinalang telah terjadi sejak Damopolii
menjadi Punu’ dipenghujung tahun 1400-an, dodandian ini kemudian direvitalisasi
oleh Tadohe tahun 1600, dan jika jadi pengukuhan Ki Sinungkudan ini berarti
perlu 400 tahun lebih untuk mengembalikan dodandian. Suatu monumen tanpa benda
tapi sangat berharga bagi daerah.
Inti dari dodandian sebenarnya adalah saling
menguatkan antara rakyat dan pemerintah. Karena itu, Insya Allah pengukuhan Ki
Sinungkudan akan menjadi awal yang baik bagi Ir. Hj. Tatong Bara sebagai Walikota
pilihan rakyat yang juga selaku Ki Sinungkudan di Kotamobagu dan Drs. Hi.
Jainudin Damopolii sebagai Wakil Walikota. Bagaimanapun pengukuhan ini akan
memperkuat top eksekutif secara adat.
Akhirnya, tulisan ini hanyalah sekadar
sumbang saran yang terbuka untuk direnungkan dan didiskusikan. Bagi saya,
pengukuhan Ki Sinungkudan ini tentu saja perlu, bahkan bisa dikatakan penting
mengingat kondisi adat bo oadatan
yang ada di daerah kita. Saya berharap dari pengukuhan Ki Sinungkudan ini akan
dimulai penguatan budaya di Bolaang Mongondow Raya yang dimulai dari Kotamobagu
sebagai pusatnya orang Kota. Tapi tentu saya sadar juga bahwa tidak semua
berpikiran yang sama. (Anuar Syukur, intau Bolaang Mongondow)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar