"Tanya si Mas dulu apa wanita hamil boleh berkurban juga tanya sama si mas apa dia sudah punya anak" (foto: google) |
Kurang H-1 lebaran. Mau tak mau harus aku akui betapa luar biasanya perumahan
elit ini. Di sini tempat para mantan pejabat, pejabat, bakal pejabat, pengusaha,
akademisi. Mereka bercampur baur. Namun luar biasa semangat keagamaannya.
Selain jamaah di sholat lima waktu cukup banyak, juga semangat mereka
menjalankan perintah Allah lainnya luar biasa tinggi, termasuk dalam menunaikan
kewajiban qurban.
Kambing datang sejak pagi bagai tiada henti. Sampai sore, sudah 63 dalam
hitungan. Bahkan sampai malam masih ada juga yang datang sehingga jumlah
kambing mencapai 67 ekor. Sapi yang memang diinstruksikan untuk diantar sore
hari di h-1 karena tak ada yang ditugaskan untuk mencari makan sapi-sapi itu, semua
berjumlah sepuluh.
Di kampungku, terdapat lebih dari 5 ribu warga. Tapi yang terkumpulkan tak sebanyak diperumahan yang penghuni tetapnya tak sampai seribu orang ini. Lebih luar biasa lagi ketika seorang ibu muda nan cantik datang yang sedang hamil tua datang bersama suaminya.
“Mohon maaf, Mas. Numpang nanya,”
kata ibu muda itu.
“Oh, mohon maaf juga, Mbak. Saya orang baru di sini,” saya ingin mengatakan
itu tapi keder juga melihat suaminya. “Iya, ada apa ya, Mbak?” itu pertanyaan
yang keluar dari mulut saya.
“Kalau sedang hamil seperti saya, bisa nggak ya memberikan hewan qurban?”
tanyanya.
“Oh itu,” kata saya sambil manggut-manggut dan memegang jenggot. “Dalilnya
saya tak tahu pasti, Mbak, Mas. Tapi Insya Allah bisa ko’ sepenjang Mbak sama
Masnya sanggup dan ikhlas,” lanjut saya seperti da’i saja.
“Insya Allah sanggup dan ikhlas ko’, Mas. Bahkan kambingnya sudah
disiapkan,” katanya dan menyuruh suaminya mengambil kambing itu. Suaminya pun
nurut, entah sayang pada isteri yang sedang hamil tua atau karena Suami Sien
Isteri alias SUSIS seperti lagunya Sule’ alias Sutisna alias Entis.
“Makasih buanget lho, Mas, atas penjelasannya. Soalnya suami saya agak
takut akan ada apa-apa dengan kandungan saya kalau kami memberikan qurban untuk
disembelih,” kata ibu muda itu sambil duduk disamping saya.
“Tawakal saja, Mbak. Niat Mbak sama Masnya kan baik, Insya Allah Tuhan akan
membalasnya dengan kebaikan juga,” kata saya.
“Benar, Mas. Insya Allah demikian,” sambutnya lembut.
“Lagi pula, biasanya keinginan kuat dari ibu juga merupakan keinginan anak.
Dan di tempat saya, kata orang-orang tua, keinginan ibu harus dituruti agar
anaknya tidak ileran. Makanya suami biasanya pontang-panting mencari yang
diminta isteri. Untung kalau di kota besar begini yang semuanya tinggal ditanya
berapa duitnya. Lha, kalau macam di kota kecil seperti tempatku, repot juga,” kataku
seperti sudah berpengalaman saja.
“Di sini juga kepercayaannya begitu, Mas. Tapi saya tidak yakin...”
Pembicaraan kami mengalir bagai air. Sampai akhirnya…
“Masnya sudah punya anak berapa,” tanya ibu muda itu.
Tarrrrrrrr.
Seperti petir di siang bolong, padahal angin kencang telah membawa lari
awan hitam. Aku benar-benar kaget dan bingung, Lha, bagaimanapu tidak bingung,
wong calon isteri saja belum dapat kok malah ditanya soal anak. Aku terdiam
sejenak sambil mempersalahkan mulut yang sudah banyak mengumbar kata.
Aku sudah akan berterus terang namun suaminya menyelamatkan.
“Wah, besar sekali kambingnya,” kata saya. “Saya bantu suami Mbak dulu ya,”
saya pamit dan berlari ke arah suami ibu muda itu.
Setelah urusan administrasi selesai, pasutri itupun pulang.
“Sampaikan salam sama anak-anaknya Mas, ya,” kata ibu muda itu yang hanya
kusambut dengan anggukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar