Tradisi yang bisa jadi wisata ramadhan nampaknya akan menghilang (foto : pribadi) |
Puasa tinggal lima
hari lagi, para pengurus BTM, Pegawai Syar’i, para tokoh masyarakat berkumpul
di secretariat BTM Darusalam Motoboi Kecil. Oleh Robi Paputungan yang saat itu
menjadi komandan pemuda dibawah Remaja Masjid, kami diminta hadir juga. Kami
hendak mengajukan pembuatan “tuntul” di lapangan.
Jujur diakui
tidak gampang. Lapangan Motoboi Kecil luasnya sekitar 150 x 120 meter, jika
keseluruhan lapangan dipasang tuntul bisa memakan minimal 3 drum minyak tanah.
“Rencana yang
baik, saya yang akan menanggung satu drum,” kata seorang pegawai syar’i yang
sudah tua namun penuh semangat.
“Baiklah, saya
dan pegawai syar’I yang akan menyediakan satu drum minyak tanah,” kata Lurah
membijaki, kemudian beliau membisikan sesuatu pada pegawai syari itu—mungkin menjelaskan
harga satu drumnya yang tak mungkin dibebankan pada satu orang, sang pegawai
syari nampak mengangguk-angguk.
“Saya juga menambahkan
satu drum,” kata Jemi Lantong, saat itu sedang duduk sebagai wakil rakyat.
Memasang api lampu |
Seorang orang
tua kampung berdiri, beliau menyarankan agar dua drum saja sudah cukup. Beliau
dengan bijaknya mengatakan bahwa perlu dilakukan penghematan. Dan terjadilah
perdebatan dengan pemuda. Para pemuda merasionalkan
bahwa tidak mungkin dapat memasang tuntul di lapangan jika hanya dua drum.
Seorang pemuda
bangkit, nampaknya dia sudah kesal dengan perdebatan itu. “Tak masalah cuma dua
drum yang disediakan, yang penting jangan persalahkan kami jika tuntul hanya
dipasang dua malam,” katanya tegas kemudian duduk kembali.
Suasana hening
sejenak, kemudian sang orang tua kampung yang bicara tadi tampil kembali. “Itu
warning, tak mungkin juga kita hanya memasang tuntul dua malam. Jadi kmi sudah
sepakat bahwa kami akan menyumbangkan satu drum lagi,” katanya.
Suasana jadi
sumringa, tepuk tangan menggema. Rupanya orang tua kampung yang dikenal sebagai
pengusaha itu sudah bicara dengan pengusaha kampung lainnya dan mereka sepakat
untuk menyumbang satu drum.
Persoalan
minyak tanah selesai. Sekarang harus memikirkan bagaimana bahan lainnya. Untuk
sementara kami tak memikirkan dulu persoalan lain yang sebenarnya jadi pokok
masalah juga. Kami bersepakat saat itu juga ke kebun di Molayak, mengumpulkan kayu
dan bambu yang akan dijadikan patok maupun model tuntul nantinya.
Membuat desain |
Udara panas,
nyiur yang masih pendek sudah pada berbuah deras, kelapa mudanya pasti enak, pasti
akan menghilangkan dahaga kami di siang yang terik ini. Namun apa daya, kami puasa.
Maka, yang bisa kami lakukan hanya mengambil beberapa buah untuk dibawa pulang—urusan
kawan-kawan remaja putri yang akan meraciknya untuk suguhan buka puasa nanti.
Patok dan
bambu sudah kami kumpulkan dan sudah dibawa ke lapangan. Masalah berikutnya,
kami masih butuh botol-botol kecil minuman untuk tempat meletakan minyak tanah—kami
memperhitungkan minimal 10.000 buah botol, juga perlu sumbu serta loga-loga,
serta perlu tali labrang untuk menghubungkan antar patok—kalau hanya digunakan
tali plastic takutnya akan terbakar.
Ternyata benar
apa yang dikatakan orang bijak: Lakukan apa yang dapat kamu lakukan maka Tuhan
akan menggerakan apa yang tidak bisa kamu lakukan!
Kesadaran
masyarakat muncul ketika melihat kami bekerja. Maka masing-masing menyumbangkan
apa yang bisa dia sumbangkan. Dan komplitlah semuanya.
Di malam H-3,
Motoboi Kecil benar-benar dikepung asap. Namun tak mengurangi antusis
masyarakat untuk menontoni hasil kerja kami.
Itu cerita
tahun 2006. Pada tahun 2011, hal yang sama diulang kembali. Kali ini aku tak
ikut-ikutan, teman-teman Remaja Masjid yang melakukan. Aku yakin kendalanya
sama.
Sekarang,
ketika minyak tanah melonjak sampai Rp 5000,-/liter, rasanya melakukan kegiatan
semacam ini tak mungkin lagi. Tuntul pun tinggal kenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar