Ini nasi kebuli tapi bagi yang lidahnya masih perawan bisa juga dinamakan nasi kibuli :) (foto : google) |
Setelah sholat id, kami kembali ke masjid yang telah dipasangi tenda
biru—tapi bukan “tenda biru”nya Deysi Ratnasari lho!
Sesuai kebiasaan sejak aku masih mahasiswa, saat hari raya Idil Adha memang
pesta besar bagi kami. Bang Jack meminta kami datang untuk ikut menikmati pesta
itu. Sesungguhnya Bang Jack yang dipercaya warga perumahan untuk menjaga masjid
sekaligus membantu ini-itu terkait dengan kegiatan-kegiatan keagamaan berharap
kami bisa ikut membantu karena kekurangan tenaga. Namun banyak juga diantara
kami yang hanya ingin menikmati pesta sehingga baru datang sekitar jam setengah
tiga atau jam tiga sore sehingga sudah terbebas dari kerja. Pura-pura saja
datang untuk sholat Ashar, pasti tak kan dipersoalkan. Dasar!
Aku sesungguhnya tak biasa sarapan, tapi perut pasti akan keroncongan kalau
nanti sore baru diisi. Maka kami pun merundingkan cara mendapatkan sarapan.
Abas, bendahara pengganti Bang Jack tak mau mengeluarkan uang kas yang aku
yakin minim. Kami juga sudah tak punya persediaan anggaran.
Di tengah kebingungan tak bersolusi itu, datang Syech Umar. Dia membawa
nampan besar. Andi yang tamatan pesantren dan cukup fasih berbahasa Arab
langsung menyambutnya. Aku, Abas dan Mahdi bengong saja mendengar mereka
bicara. Mata kami selalu melirik ke nampan yang dia bawa.
Mungkin merasakan kepenasaran kami, Syech Umar pun membuka tutup nampan
itu. Ternyata nasi kuning yang membumbung, kulihat ada juga irisan-irisan
daging yang cukup besar-besar diantara nasi kuning itu. Syech Umar
mempersilahkan kami. Namun selaku orang timur, kami tak langsung menyerbu walau
liur yang kami telan rasanya sudah membuat napas kami ngos-ngosan.
Kami baru menyerbu ketika Syech Umar pamit dan bayangannya sudah
meninggalkan masjid.
“Langsung saja di sini, Mas,” kata Andi ketika melihat aku hendak mengambil
piring.
Andi, Mahdi dan Abas memang sudah duduk mengitari nampan itu. Mereka
langsung mengais-ngais isi nampan menjadi tumpukan kecil di depan mereka.
Rupanya mereka sudah terbiasa makan berjamaah di satu wadah seperti itu. Aku
pun ikut-ikutan.
“Wah.”
Ketiganya melihatku dan tertawa. Ternyata yang kuhadapi bukan nasi kuning,
rasanya sangat lain. Rasa ini benar-benar masih baru bagi lidah kampungku.
“Makannya sedikit-sedikit dulu, Mas. Lama-lama pasti akan enak,” kata
Mahdi.
Aku hanya mengangguk dan mengunyah pelan serta memasukan sedikit-sedikit ke
kerongkongan. Ternyata yang kuhadapi bukan nasi kuning melainkan nasi kabuli
yang kurasa telah menjadi nasi kibuli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar