Nah, tu terpedonya belum ada yang ngambil, awas jangan rebutan ya :) (foto : google) |
Palakat : Mengingat urusan terpedo ini ternyata panjang jadi di buat dua tulisan...
Selesai kami sarapan, berdatanganlah orang-orang. Rupanya ada juga warga kampung
sekitar perumahan yang diminta datang membantu, salah satunya tukang jagal yang
konon kabarnya dibayar perkepala—mungkin juga artinya sang tukang jagal punya
hak untuk beberapa kepala hewan kurban untuk sekitar berapa hewan kurban yang
dia sembeli. Entahlah, itu urusannya bagian keuangan.
Sebelum penyembelihan dilakukan, Pak Bas mendekatiku.
“Mas, terpedonya disimpan ya, jangan dikasih ke siapa-siapa,” bisiknya.
Terpedo?
“Walah, repot bicara sama sampean ini. Terpedo saja tak tahu,” rutuknya
masih berbisik.
Dia pun ke Andi dan membisikan sesuatu. Andi tertawa, melihat padaku,
kemudian mengacungkan jempol pada Pak Bas. Wah, rupanya sedang terjadi
konspirasi untuk menjatuhkan martabatku ini, masak martabatku jatuh gara-gara
tak tahu terpedo.
Andi pun mendekatiku, dia mesam-mesem mirip putri malu yang tersentuh.
“Mas, kita berdua mendapat tugas khusus dari Pak Bas. Kita harus
mengumpulkan terpedo, sesusah apa pun semua terpedo harus kita kumpulkan,” kata
Andi.
“Terpedo itu apa to?” tanyaku benar-benar puyeng.
Andi tertawa. “Terpedo itu lho yang sering kamu makan kalau yang bentuk
kuenya. Namanya kokam, tapi terpedo ini dari hewan kurban,” dia menjelaskan dan
melanjutkan tawanya.
Walah, kokam to, tapi kali ini kokam yang asli. Kokam itu sejenis kue,
kalau ditempatku disebut binolos tapi kokam ini kembar berdempet. Isinya
biasanya kacang ijo dicampur gula merah yang digoreng tepung. Waktu aku membeli
kue ini, aku tertarik dan bertanya tentang namanya. Ternyata kokam itu hanya
singkatan dari KOntol KAMbing. Walah, nama kue kok ya saru buanget seperti ini,
tapi ya untunglah dinisbatkan pada hewan.
Jadi, misi kami kali ini sebenarnya sangat posible—lawan dari mision
imposible. Terpedo alias kokam asli, siapa yang mau berebut? Lha, sesungguhnya
masing-masing sudah punya kok, kenapa harus memperebutkan punyanya hewan?
Lagian, ngapain juga Pak Bas membuat misi seperti ini—pake tugas khusus lagi.
Aneh!
Ternyata tidak seperti yang aku duga. Terpedo ternyata sangat seksi
sehingga jadi perebutan yang seru—kalau mau ditelusuri sih sebenarnya perebutan
ini bisa jadi saru karena ada juga ibu-ibu yang ikut. Bahkan bapak tukang jagal
pun tak langsung menyembeli yang berikutnya, dia malah ikut-ikutan menguliti
kambing yang baru dia sembelih hanya untuk mendapatkan terpedo.
“Jag, lha tugas sampean itu menjagal, bukan malah ikut-ikutan menguliti.
Ini lho masih banyak yang harus kamu sembeli,” kata Pak Bas, mengintervensi.
Tukang jagal tinggal manyun, Pak Bas pun mengatur mereka yang harus
menguliti. Tentu dia harus memilih yang tak menginginkan terpedo. Aku dan Andi
juga ikut-ikutan belajar menguliti, tapi begitu terpedo kami dapatkan kami
langsung istirahat. Sebenarnya sih bisa saja kami langsung memotong terpedonya
walau belum dikuliti, namun rasanya kami tak punya perikehewanan kalau
melakukan itu. Lha, kambing sudah mati kok ya masih saja dikebiri.
Akhirnya semua terpedo berhasil kami himpun di dalam satu ember besar dan
diletakan di dalam rung tempat kami tidur. Jadinya, tempat tidur kami seperti
tempat penjagalan saja—bau amis memenuhi ruang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar