Para model di "Jembatan Merah", Surabaya. Jika masih ada "Totoy Uatoy" di Mopait, para model juga bisa berfose di sana (gambar : google) |
Jangan sekali-kali melupakan sejarah, ungkap
Bung Karno dalam salah satu pidatonya yang memukau. Ungkapan Bung Karno ini
merupakan prasasti tersendri sehingga merasuk ke hati setiap warga Indonesia
sehingga selalu diulang. Kita tak boleh melupakan jas merah kata kawan-kawan
Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Jasa merah merupakan kependekan
dari Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah dari Bung Karno. Walau aku dikader di
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang menurut sejarah merupakan salah satu
kekuatan yang menggulingkan Bung Karno namun seratus persen dan tanpa keraguan
aku mengakui kebenaran perkataan Bung Karno dan kawan-kawan GMNI itu.
Dalam kisi-kisi hidup selalu ada sejarah. Di alam romantisme ada yang dinamakan nostalgia, dalam alkitab ada kisah-kisah, dalam biologi ada teori asal-usul yang akhirnya menghasilkan teori Darwin tentang evolusi, dalam bercocok tanam ada pertumbuhan, dalam pisika ada tahapan, dalam kimia ada proses, dalam ideologi sejarah juga berperan seperti dalam teori Marksis dan lainnya. Bahkan diri kita secara individu tersusun dari sejarah yang dimulai dari kelahiran sampai kematian.
Karena pentingnya sejarah maka dibuatlah
kenang-kenangan oleh para pelakunya. Di negara kita pada masa lalu dibangun
candi-candi untuk memperingati suatu peristiwa atau keberadaan seorang
penguasa, salah satunya Borobudur yang melambangkan kejayaan Dinasti
Darmawangsa. Di Mesir ada Primad, kastil di Eropa, Meuseulum di Yunani, Taj
Mahal di India, dan lain sebagainya. Begitu juga di zaman berikutnya dan
terjadi disetiap negara. Kremlin yang angker di Rusia sebagai tanda kekuasaan
komunis, berbagai prasasti yang dibangun untuk memperingati holokous
(pembantaian kaum Yahudi) di Jerman, dan lainnya. Bahkan di saat-saat sulit,
Bung Karno masih membangun monumen nasional (Monas) seakan tuguh runcing nan
tinggi itu bisa mengatasi kelaparan rakyat.
Berbagai kenang-kenangan itu tak hanya
bermanfaat pada masanya tapi luar biasa bermanfaat pada masa setelahnya. Naskah
kuno dari masa sebelum masehi akan memberikan gambaran pada kita apa yang harus
dilakukan di masa sekarang. Paham demokrasi yang ramai didiskusikan sejak zaman
Plato telah coba kita terapkan sekarang. Naskah yang ditemukan dari reruntuhan
Babilonia akan mengarahkan kita ke cara menyulap pasir menjadi air, piramid
memberikan pelajaran bagaimana mengawetkan mahluk hidup yang telah mati, bahkan
dari bangunannya kita akan mendapat berbagai pelajaran.
Kenang-kenangan itu telah memberi spirit,
sebuah kekuatan untuk bangkit. Banyak ahli yang mencoba mengaitkan holocoust
dengan kemunculan serta kebangkitan negara Israel. Dikejar-kejarnya Yahudi di
seluruh wilayah Eropa menyebabkan mereka banyak yang melakukan migrasi ke
Palestina dan menjadi tulang punggung utama dalam mempertahankan dan mengembangkan
negara Israel. Di negara kita, ketika bicara tentang nusantara maka akan muncul
dalam benak kita kenangan masa kekuasaan Majapahit dan Sriwidjaya sehingga
klaim kewilayahan kita banyak yang didasarkan pada peta dari kedua kerajaan
tersebut.
Kenang-kenangan ini juga memberi kita bukti
akan harga diri kita. Borobudur yang merupakan satu dari sekian banyak
keajaiban dunia akan bicara pada masyarakat internasional bahwa Indonesia juga
bisa.
Bolaang Mongondow juga tak lepas dari
kemegahan sejarah. Adalah Arter Mamonto yang mencoba menelusuri jejak kita di
panggung nasional—bahkan internasional—pada masa lalu. Menurutnya, walau saat
ini Bolmong kurang dikenal serta Dunebeir selalu salah menuliskan tentang
Bolmong, namun sesungguhnya Bolmong punya peran besar di panggung
internasional.
Suatu yang membesarkan hati pengisahan Arter
ini. Namun mengapa sejarah kita tenggelam yang berakibat pada Bolmong kurang
dikenal seperti yang kita rasakan sekarang?
Memang ada persoalan pada masa lalu kita.
Leluhur kita nyaris tak meninggalkan kenang-keangan. Tradisi menulis tidak ada
pada masa lalu sehingga kisah hanya diceritakan lewat mulut—entah bentuknya
dongeng maupun nyanyian. Berbagai temuan mulai dari lesung besar, lesung kecil
(tempat menyirih/menginang), piring antik, doit (uang dulu-dulu), dan lainnya
sangat sedikit bercerita pada kita. Konon kita punya komalig (istana raja)
namun tak terlihat lagi akibat pergolakan permesta, kuburan leluhur—entah raja
maupun bawahannya—yang dapat dijadikan referensi sejarah dibiarkan terbengkalai,
dan lainnya, dan lainnya.
Semua ini memiriskan kita. Majapahit punya
banyak karangan yang dibuat oleh para Mpu, bahkan mereka punya peta wilayah
kekuasaannya. Siapapun bisa menggunakannya untuk mengkaji tentang kebesaran
Majapahit. Begitu juga dengan tempat lainnya. Sementara Arter atau siapapun
yang tertarik untuk membahas masa lalu Bolmong kebanyakan hanya mendasarkan
pada asumsi. Ini bukan untuk melemahkan Arter atau siapapun yang tertarik
dengan masa lalu Bolmong, justru saya ingin menyemangati agar kita lebih terus
mencari sejarah kita di luar karena di kita memang susah ditemukan.
Sejujurnya saya sangat senang mendengar kisah
yang diceritakan para orang tua. Dari sekian banyak kisah, ada satu yang
menarik perhatian saya yaitu tentang Totoy Uatoy (jembatan besi) yang berada di
atas sungai Mopait. Saya tertarik karena disamping mendengarkan kisahnya, saya
juga masih dapat meraba, melihat dan berjalan di atasnya.
Dengan adanya pisik jembatan saya bisa
membayangkan bagaimana pesawat musuh menjatuhkan bom untuk merusak jembatan,
bagaimana peluru mortir menghantam badan jembatan, bagaimana si bule (Belanda)
atau si sipit (Jepang) atau tentara Permesta atau tentara pusat (sebutan TNI)
berjalan di atasnya. Akan tergambar pada saya bagaimana rakyat lari ketika para
pemegang senjata berperang.
Pendek kata, karena pisiknya ada maka kisah
tentang Totoy Uatoy seakan nyata. Pada orang luar kita juga bisa berbangga
diri. Kita bisa bilang pada mereka: kami juga berjuang, kami berperang, kalau
tak percaya tanyakan saja pada Totoy Uatoi!
Namun saat ini Totoi Uatoi tak ada lagi.
Sebuah jembatan baru nan megah telah mengganti. Sejarahnya telah
dipenggal-penggal—mungkin dijual kilo. Wajarlah jika generasi muda kita hanya
tertawa ketika kakek-nenek mereka menceritakan heroisme rakyat Bolmong di masa
lalu.
Mungkin mulut sekolahan mereka yang baru
percaya jika ada fakta akan bertanya: mana buktinya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar