Dugaan Ketua KNPI Bolmong, Anhar Pasambuna, bahwa Bupati Bolmong Salihi Mokodongan dijebak sangat cukup mengagetkan. Memng ini hanya dugaan saja, belum bisa dibuktikan kebenarannya. Namanya juga dugaan, tentu perlu waktu dan cara tersendiri untuk membuktikan. Anhar tentu saja tidak dapat disalahkan dalam berargumentasi karena dia pun punya indikator-indikator untuk memperkuat argumentasinya. Dan itu hak beliau dalam mengkritisi berbagai persoalan, terutama di wilyah beliau. Saya pun tak tertarik untuk membuktikan dugaan Anhar tersebut, tentu ada pihak lain—misalnya Kepolisian—yang memang didesak sejak lama untuk menyelidiki disclaimer di Bolmong yang menjadi muasal dugaan Anhar ini. Saya justeru tertarik dengan helaan dari dugaan Anhar.
Dijebak mungkin sama saja dengan diakali, inakalan dalam Mongondow. Karena itu dua kata ini tersebar dalam artikel ini.
Sesungguhnya Bupati merupakan figur pilihan,
dia tak hanya disebut figur pilihan karena dipilih oleh rakyat melainkan karena
dia memang memenuhi syarat untuk jadi pilihan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa
seorang pemimpin memang sudah ditentukan atau dipilih oleh Tuhan sendiri dari
sekian banyak hamba-Nya. Pernyataan terakhir ini sangat debatable tapi mungkin
bukan di sini ruangnya. Lha, sosok pilihan—di mana bahkan kebijaksanaan Tuhan
ikut menentukan—kok bisa dijebak atau diakali alias inakalan?
Bawahan juga kok bisa-bisanya menjebak Bupati
yang merupakan sosok pilihan. Apa mereka tidak takut pada atasan mereka? Apa
mereka tak punya rasa sungkan? Apa mereka tak terarahkan dengan kharisma dan
wibawa sang atasan? Mungkin ada juga yang akan bertanya : Apa sang atasan punya
kharisma dan wibaawa? Lha kalau sang atasan tidak punya kharisma dan wibawa kok
bisa jadi atasan? Lucu!
Okelah, ini memang konsekwensi demokrasi. Negara
kita yang demokratis ini saya pandang sebagai ‘negara aturan’, argumentasi
selalu saja didasarkan pada aturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk
bagaimana syarat-syarat menjadi sosok pilihan. Syarat-syarat dalam aturan
perundang-undangan ini seperti tapisan gajah, siapa pun bisa lolos. Tak
mengapa, memang ini sistem yang kita pilih. Tingkat kecerdasan yang
memungkinkan seseorang tidak dijebak tak perlu diperhitungkan, kharisma dan
kewibawaan pun tak usah terlalu diperhatikan, kalau memang itu tak
dipersyaratkan oleh aturan perundang-undangan. Bahkan kalau tidak ada
pembatasan bahwa hanya manusia disuatu wilayah negara di mana aturan
perundang-undangan itu berlaku yang dapat menjadi sosok pilihan, semua ciptaan
Tuhan mulai dari binatang dan tumbuhan dan benda, juga semua kreasi manusia
mulai dari boneka dan robot dan lainnya, biarlah mereka juga diberi peluang
untuk menikmati alam demokrsi ini. Toh jika pun semua berpeluang maka tim
sukses yang akan menentukan kemenangan seorang kandidat. Tanpa dukungan tim
niscaya kandidat akan dipilih.
Saya tak tahu sejauh mana tanggung jawab tim.
Istilah ‘tim sukses’ setidaknya mempunyai dua makna yang terkait dengan capaian
kandidat. Ada yang memandang tanggung jawab tim hanya menyukseskan seorang kandidat
sampai terpilih tapi ada juga yang merasa bertanggung jawab sampai kandidat
yang mereka usung sukses memimpin setelah terpilih. Tentu di luar dari itu ada
juga tim yang merasa harus mendapat proyek atau jabatan setelah kandidat yang
mereka usung terpilih.
Tetu saya berharap tim tak hanya mensukseskan
terpilihnya seorang kandidat tapi juga mengawal jalannya pemerintahan ketika
kandidatnya terpilih. Salah satunya agar pemimpin terpilih tidak terjebak
seperti yang diduga oleh Anhar. Kekritisan dari tim sangat diperlukan, bukan
sekadar menutupi perbuatan buruk sang terpilih tapi juga memproteksi agar sang
terpilih tak melakukan perbuatan buruk—termasuk dijebak. Jika sang terpilih tak
mau juga mendengarkan sehingga tetap terjebak, mungkin sudah saatnya bagi tim
untuk memutar arah panah. Bagaimanapun, tim punya tanggung jawab pada diri
sendiri, masyarakat dan Tuhan. (ATS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar