Maha suci Tuhan yang telah menciptakan
keragaman. Dia tak hanya menciptakan hal yang berpasangan seperti siang-malam,
terang-gelap, lelaki-perempuan, pemangsa-dimangsa, penguasa-rakyat,
kaya-miskin, penindas-ditindas, dan lainnya. Bahkan dalam diri manusia, Tuhan
menciptakan keragaman yang merupakan potensi. Ada pelukis, ada penulis, ada
tukang, ada pemikir, ada orang berpisik kuat, dan lainnya. Dari sini akan
terbagi-bagi lagi. Ada pelukis alam, karikatur, abstrak, dan lainnay. Ada
penulis artikel, puisi, cerita, dan lainnya. Ada tukang bangunan, perabot,
tukang mesin, dan lainnya. Ada pemikir ekonomi, politik, sosial, alam, dan
lainnya. Yang berpisik kuat bisa jadi tentara, polisi, dan lainnya.
Di lingkungan akademik telah timbul kesadaran
akan keberagama manusia ini. Karena itu munculah kotak-kotak yang disebut
jurusan di Sekolah Menengah Atas, dan yang lebih nyata akan kita lihat pada
Sekolah Menengah Kejuruan. Di Perguruan Tinggi kotak-kotak ini lebih rumit lagi
dengan adanya kotak besar yang disebut fakultas yang didalamnya ada kotak lebih
kecil yang disebut jurusan dan kotak lebih kecil lagi yang disebut konsentrasi.
Memang kita sadar pengetahuan tidak bisa di kotak-kotak seperti brankas. Kita
harus membuat pintu-pintu di kotak itu agar antar kotak masih bisa berhubungan.
Dari sinilah dihasilkan sumberdaya manusia (sdm) yang telah terspesialisasi.
Dengan potensi yang beragam ini bisa
dipastikan setiap pekerjaan akan ditangani oleh orang yang tepat karena setiap
orang akan mengisi kotak-kotak yang telah ada dalam kehidupan. Semua akan
melakukan fungsi sesuai dengan potensi yang dia punyai.
Kata orang bijak, hasil terbaik dan optimal
dari suatu pekerjaan adalah ketika pekerjanya tidak melakukan karena terpaksa.
Bekerja berdasarkan potensi tak hanya akan mengoptimalkan hasil tapi akan
memunculkan inovasi. Sayidina Ali bin Abi Thalib mengatakan berikanlah pekerjaan
pada ahlinya niscaya akan kalian rasakan kemajun, namun jika tidak maka
tunggulah kehancuran.
Pemanfaatan keberagaman potensi ini akan
membawa kita pada kemajuan. Kita akan melihat bangunan yang megah melebihi
kemegahan Yunani, Romawi, Persia, Mesir dan lainnya. Kita akan merasakan
kemakmuran yang akan melebihi kemakmuran bangsa-bangsa sebelum kita. Kita akan
mengecap kemajuan pengetahuan melebihi yang telah pernah ada.
Bisa kita bayangkan jika pekerjaan diberikan
berdasarkan potensi yang ada. Saya meyakini tak akan ada antrian panjang
pencari kerja seperti yang biasa kita lihat, tak akan ada perebutan jatah CPNS
seperti yang kita lihat beberapa bulan lalu, tak akan ada sogok-menyogok, dan
lainnya.
Namun tak semua kita berpikir sama.
Perekrutan PNS tetap saja menjadi bahan perebutan, sogok-menyogok menjadi
pemandangan yang lumrah, suatu pekerjaan/jabatan seperti dilelang, para pencari
kerja/orangtuanya/keluarganya sangat sibuk menjilat penentu kebijakan agar
pencari kerja tersebut mendapat pekerjaan. Kolusi dan nepotisme dalam lapangan
kerja masih jadi prioritas. Walhasil, pembangunan yang kita lihat seperti
sekarang. Memang belum mengarah kekehancuran tapi kita stagnan. Kita baru
berlari di tempat.
Seorang yang kabarnya tamatan IPDN dalam
suatu diskusi di taman Kotamobagu sempat bilang bahwa tak jadi soal menempatkan
orang yang tak sesuai untuk memimpin suatu instansi/institusi karena dia hanya
mengelolah instansi/institusi tersebut. Atau dengan kata lain yang dilakukannya
hanya terkait dengan manajemen semata. Tapi, percayakah Anda dengan perkataan
tersebut?
Apakah Anda akan mempercayai seorang penulis
yang mengelolah rumah sakit? Sejujurnya aku tak akan percaya dan aku tak akan
pernah berobat ke rumah sakit seperti ini. Mengapa? Walau dia hanya manajemen
namun bisa saja dia menempatkan Ponari sebagai salah satu dokter. Ngerih juga!
Penempatan orang yang tidak tepat, selain
memunculkan salah urus, juga kalau memang ingin baik akan memunculkan manajemen
yang tidak efektif. Kembali ke manajer rumah sakit yang penulis di atas, bisa
dibayangkan berapa banyak ahli yang jadi perumusnya agar kebijakan yang dia
ambil benar-benar tepat.
Saya pernah menonton film BEE yang bercerita
tentang kehidupan lebah. Setelah mereka sekolah sehari (waktu lama untuk seekor
lebah), mereka dihadapkan pada dunia kerja. Berbagai lowongan pekerjaan
diberikan, mereka harus memilih pekerjaan yang tepat karena akan dilakoni
seumur hidup. Membosankan melakukan pekerjaan yang sama seumur hidup kita, kata
seekor lebah pemberontak.
Namun, kita bukan lebah, kan? Kita juga tak
ingin menjadi lebah. Yang jelas, kita akan enjoy ketika kita melakukan
pekerjaan yang tepat untuk kita. Hasilnya juga akan optimal dan dapat dirasakan
oleh semua.
Memang penempatan ahlinya dalam suatu
pekerjaan akan memunculkan persoalan. Pemimpin tak akan mampu mengatur lebih
jauh suatu pekerjaan karena yang mengerjakan itu lebih tahu. Anggaran tak bisa
diatur agar masih banyak selisih yang dapat dikorupsi. Tapi ini konsekwensi kalau kita ingin maju. (ATS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar