Sumber : Google |
Kemarin malam,
capek luar biasa mendera. Perjalanan ke Molibagu sudah kali ke lima
aku lakukan, bahkan beberapa kali lanjut ke Lungkap—Pinolosian. Namun kali ini
aku benar-benar dibuat capek. Mungkin karena malamnya hanya tertidur sejam dan
sesampainya di sana harus menunggu.
Andai tak ada berita menggembirakan bahwa apa yang sedang aku usahakan telah
diproses sampai pada tingkat tertentu, mungkin aku tak terhibur. Alhamdulillah,
perjalanan yang baik walau masih juga menggantung. Dan capek terbayar dengan
informasi itu.
Dalam kecapekan itu, ketika rebahan di kamar yang juga kupandang sebagai ruang kerja, aku dipaksa menerima sms dari teman. Teman yang satu ini jarang berkomunikasi. Kami bertemu kembali saat aku ke Jawa akhir 2009 sampai awal 2010 setelah sepuluh tahun lebih tak bertemu. Kami bertemu disalah satu rumah makan dibilangan Jakarta—tentu dia yang menraktir. Aku cukup berterimakasih kepada pencipta facebook yang memungkinkan kami dapat berkomunikasi dan kemudian bertemu.
Kami mengobrol
sekitar 4 jam yang kebanyakan nostalgia. Dia sempat menyebutkan salah satu
teman, seorang adik kelas, yang dapat kuminta bantuan kalau masih kurang. Sebut
saja teman ini Fulan. Namun aku kurang berminat bertemu Fulan. Pertama, dia itu
adik kelasku yang tentu sangat tidak elok kalau aku meminta bantuan padanya
sehebat apa pun dia. Kedua, saat masih aktif, yang kutahu dia ini sangat
kekurangan, bahkan dibandingkan kemiskinanku. Aku tahu persis hal ini karena
dalam lingkup pergaulan di kalangan para aktivis, aku tak punya kedudukan yang
membuatku sibuk mengurusi diri sendiri sehingga punya waktu luang yang cukup
untuk memperhatikan sekeliling. Dulu, si Fulan ini hanya pesuruh kami (walau
tentu aku yang paling jarang menyuruhnya karena aku tak punya modal untuk memerintah).
Aku tak begitu yakin si Fulan sudah berkembang se luar biasa itu. Aku memotong
pembicaraan temanku, mengalihkan pembicaraan ke masa nostalgia kami, dan
secepatnya melupakan si Fulan.
Namun sms dari
temanku itu berisi tentang kehebatan si Fulan.
MOHON DOA DAN
DUKUNGAN ATAS IKUT BERTARUNGNYA TAMAN KITA fulan DI PILKADA DAERA …
Aku membaca
sekilas, kemudian merenung. Capekku hilang sejenak. Kemudian kubalas
ogah-ogahan.
AMIN. LUAR
BIASA SI fulan…
Rupanya
balasan smsku ini menarik bagi temanku sehingga diapun menelepon.
Saat bertemu
denganku, temanku ini menyelipkan apa yang dia sebut uang makan yang pada kenyataannya bisa untuk makanku sebulan dengan
janji akan mentransfer bantuan untuk percetakan novelku. Transfer itu aku terima
beberapa hari kemudian dalam jumlah yang besar. Untuk itu, aku meng-smsnya, menginformasikan
transfernya telah sampai dan ucapan terimakasih. Tapi dia tak membalas.
Aku menduga
temanku ini luar biasa sibuk sehingga untuk membalas sms pun tak ada waktu,
atau mungkin juga smsnya sudah menumpuk sehingga dia tak sempat membuka-buka
sms. Aku pun demikian juga, walau sms bertumpuk yang kudapat biasanya hanya
berisi ucapan selamat untuk suatu hal yang dikirim dalam waktu bersamaan.
Kali ini
temanku menelepon. Tentu saja menarik perhatianku. Membuang jauh-jauh rasa
capekku.
Rupanya
temanku ini hanya menceritakan bagaimana perjalanan si Fulan.
Keluarga si
Fulan itu memang miskin (kupikir semiskin aku), keluarganya menguliahkan si
Fulan karena punya peluang besar untuk mendapatkan beasiswa. Setelah selesai,
Fulan bekerja di satu perusahaan keluarga di mana keluarga ini hanya punya satu
anak perempuan. Aku sudah dapat menerka bagaimana perjalanan berikutnya dari si
Fulan.
Selanjutnya,
dia membangun perusahaan keluarga itu sampai menjadi perusahaan yang bonafid
dengan omset bermilyar-milyar. Namun si Fulan tak pernah melupakan kampung
halaman. Dengan kemampuan ekonomi yang sekarang dia telah punya, dia pun
membantu pengembangan SDM di daerahnya. Bahkan kawanku ini bilang, sebenarnya
kalau waktu itu aku mau bertemu dengan si Fulan, aku bakal diminta untuk
mengembangkan dunia penulisan di daerahnya—sesuatu yang kuimpikan untuk
kulakukan di daerahku sendiri.
Rupanya, tanpa
sadar Fulan telah menanam benih. Orang-orang dari daerahnya rupanya tak
melupakan begitu saja jasa si Fulan. Dan mereka meminta Fulan untuk memimpin di
daerahnya.
“Apakah dia
sudah bisa mengikat dasi sekarang?” tanyaku memotong. Ini humor. Sesungguhnya
akupun sampai sekarang tak tahu cara mengikat dasi, tapi bagaimanapun aku
senior waktu itu sehingga sempat menggojlogi si Fulan yang kemudian menjadi
bahan tertawaan berhari-hari.
“Sampai
sekarang dia tak tahu dan dia memang tak pernah memakai dasi. Dia bilang, dia
akan memakai pakaian gamis kalau jadi Bupati, hahahaha,” temanku itu menjawab
dan terbahak.
Kami mengobrol
selama sejam, terhenti ketika dia bilang hpnya lowbat. Dia berjanji akan mengabarkan setiap perkembangan.
Kisah si Fulan
luar biasa, yang entah mengapa terbawa ke alam mimpiku. Di sana,
aku melihat si Fulan akan dilantik. Dia memakai pakaian putih dengan sejumlah
lambang kenegaraan, namun tak berdasi karena dibalik pakaian putih itu dia
memakai gamis. Hihihi, aku tertawa di dalam mimpi.
Kisah si Fulan
menguap siang tadi, seiring panas yang lengas. Kisah ini kutuliskan setelah
pikiran cukup santai untuk mencerna semua, tentu dengan ditemani rokok dan
kopi.
Sebait doa
kupanjatkan, semoga si FUlan menjadi pimpinan di daerahnya. (AS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar