Serial Ada Canda di Rumah Tuhan (5)
Sumber: Google |
Menjadi penjaga Rumah Tuhan di kompleks elit begini harus siap bekerja ekstra ketika hari besar keagamaan tiba. Seperti hari Idil Qurban ini. Aku, Andi, Mahdi dan Abas sudah dipesankan oleh ta’mir masjid untuk siap-siap.
“Pokoknya ikut saja, atau tanya aku kalau kamu tak tahu apa yang harus kamu
lakukan,” kata Pak Bas saat brifing dalam kelompok kecil kami. Semenjak temanku,
Bang Jack, naik haji, Pak Bas yang mengomandani langsung kelompok kecil yang
tinggal di masjid.
Mendengar penjelasan Pak Bas, kami hanya mengangguk dan saling pandang. Yang jelas, kami akan berinisiatif sendiri untuk mengerjakan apa yang dapat kami kerjakan. Kalau meminta saran Pak Bas, bisa-bisa kami tak ada waktu untuk beristirahat walau hanya sekadar menghela napas.
“Jangan cemas. Insya Allah akan ada yang membantu kita sehingga tak akan
begitu repot,” kata beliau lagi.
Namun ternyata cukup merepotkan dan ribet. Orang-orang yang membantu baru datang
ketika penyembelihan qurban, padahal sejak h-2 qurban kambing sudah ada yang diantar
ke masjid. Para kambing itu diparkir di halaman samping masjid, tepat di depan ruangan
tempat kami biasa istirahat.
Sambil menghirup aroma kambing yang khas dan menatapi sawah, rumah dan
gubug dibalik tembok masjid, terbayang padaku orang-orang yang hidup
bertahun-tahun dengan kambing milik para juragan yang mereka gembalakan. Luar
biasa mereka. Aku hanya dua malam menikmati kehidupan ditengah kambing-kambing,
mungkin tiga malam menghirup bau mereka yang aromanya semerbak memulaskan perut—aku
nyaris menyerah dengan keadaan ini, bagaimana dengan mereka yang hidup
bertahun-tahun bersama kambing milik juragan yang mereka gembalakan?
Alhamdulillah, kalimat itu meluncur begitu saja dari nuraniku terdalam. Aku
sungguh berterimakasih karena Tuhan telah menunjukan bagaimana kehidupan orang
lain sehingga aku bisa benar-benar berempati pada mereka. Mereka bertahun-tahun
hidup ditengah kambing-kambing namun aku tak begitu yakin mereka sering memakan
daging kambing, bahkan bisa jadi mereka termasuk yang berhak menerima qurban.
Alhamdulillah ada hari raya qurban!
“Mas...”
Teriakan itu walau pelan namun sungguh mengagetkanku, membuyarkan lamunanku,
membuatku nyaris jatuh. Untung Pak Bas langsung memegang tanganku.
“Jangan melamun saja, Sampeyan. Yang di rumah pasti ada yang memberi
makan,” gurau beliau. Aku hanya tersenyum masam dan turun dari tembok.
“Lihat itu, kambing-kambing itu tak dikenali lagi,” kata beliau lagi
setelah aku turun.
“Ah, masak sih, Pak. Mereka masih tetap kambing kok, belum berubah jadi
sapi,” kataku nyengir.
“Lah, gimana Sampeyan ini. Lihat, yang kambing yang itu siapa?” tanyanya
sambil menunjuk satu kambing berwarna putih bercampur cokelat.
“Wah, yang punya nggak ngasih tahu siapa namanya, Pak Bas.”
“Bo, guyon saja Sampeyan. Maksudku, kambing itu siapa pemiliknya?”
Kupandangi lagi kambing itu. Lha, benar juga Pak Bas. Kambing-kambing itu
memang hanya diparkir begitu saja, tak diberi nomor parkir sehingga identifikasinya
tak jelas jika ditelusuri milik siapa. Memang sih, kambing-kambing ini akan di
kurbankan nanti sehingga yang punya tak akan menarik kembali. Tapi seharusnya
juga dapat diketahui identitas yang punya karena bagaimanapun yang berkurban
ini manusia yang mungkin saja ingin juga disebutkan nama serta diperlihatkan pada
orang-orang jenis dan ukuran barangnya.
“Coba kamu ambil kardus, tuliskan namanya dan dikalungkan ke kambing-kambing
itu,” perintah beliau tanpa nada memerintah.
“Waduh, sudah mau dzuhur, Pak. Nanti setelah dzuhur saja ya, apalagi Abas
yang paling tahu dari mana kambing-kambing ini. Dia yang mencatat,” kataku.
“Ya, sudah, mandi dulu. Kamu bau kambing!”
Aku pun melangkah ke kamar mandi. Setelah mandi, mulailah dituliskan nomor
serta nama mereka yang memberikan hewan qurban dan dikalungkan ke kambing yang
mereka qurbankan. Untunglah baru enam ekor yang ada dan Abas cukup tajam
ingatnya.
Waktu terus berjalan, kamipun hidup diantara kambing-kambing itu.
Alhamdulillah, tiba-tiba aku terkena flu sehingga bau kambing-kambing itu tak
begitu mengganggu penciumanku. Flu juga memaksaku untuk istirahat secepatnya. Setelah
Isya, aku langsung terkapar di tempat tidur. Selimut Bang Jack kumonopoli,
untung Mahdi dan Andi belum datang. Abas sudah ke rumah yang biasa dijaga oleh Bang
Jack, dia tidur di sana.
Tidurku cukup nyenyak. Dalam mimpiku aku menjadi juragan kambing tapi
kupelihara sendiri. Aku hidup di tengah-tengah mereka. Aku makan, minum, tidur
bersama mereka. Kambing-kambing itu hanya diantarkan oleh orang-orang namun
mereka bilang itu sudah jadi milikku. Aku sedang bersenang-senang dengan
kambing-kambingku ketika seseorang mengucapkan salam namun aku tak begitu
memusingkan karena aku lagi asyik bermain-main dengan kambingku. Dia terus
mengucapkan salam yang semakin lama volumenya semakin tinggi.
Sekarang salam itu diiringi gedoran yang keras. Aku seperti tersengat
listrik, selimut terlempar dan aku terduduk.
“Assalamualaikum...” Salam itu kembali terdengar yang diiringi gedoran.
Sekilas aku melihat jam, sudah pukul 1 lewat setengah lebih. Luar biasa berarti
keperluan orang ini. Andi dan Mahdi belum datang sehingga jelas aku sendirian.
Akupun bangkit dan melangkah ke pintu.
“Waalaikum salam,” sahutku dan membuka pintu.
“Nuhun sewu, Mas. Tadi ta’ kira ndak ada orang, tapi ketika aku dengar
dengkur yang keras…”
“Yo wis, ada apa, Pak?” potongku. Sialan juga orang ini, sudah mengganggu
tidur, masih membahas soal dengkurku lagi.
“Nuhun sewu, Mas. Jenengan toh Mas Abas? Aku perlu ketemu Mas Abas,”
jawabnya.
“Aku bukan Abas, Pak. Aku Anuar. Ada perlu apa dengan Abas, Pak?”
“Wah, nuhun sewu, Mas. Yang aku perlukan itu Mas Abas,” katanya lagi.
“Abasnya tidak tidur di sini, Pak. Dia tidur di rumah di sana,” kataku lagi
sambil menunjuk rumah yang dijaga Bng Jack.
“Nuhun sewu, Mas. Apa bisa dibangunkan ya?”
“Waduh, Pak. Ini sudah mau jam 2 malam. Dianya sedang tidure,” kataku
mencoba menjelaskan.
“Nuhun sewu lho, Mas. Tapi ini amanatnya untuk Mas Abas,” katanya ngotot.
“Gini lho, Pak,” kataku menarik napas menahan kesal. “Abas itu kalo tidur
bukan sembarang tidur. Dia itu tirakatan ketika tidur sehingga tak bisa
dibangunkan karena dia akan bangun dengan sendirinya. Kalau dibangunkan, bahaya
lho, Pak.”
“Ngono to?” dia menggaruk kepala yang jelas tidak gatal.
“Iya, Pak,” kataku berusaha memasang tampang serius.
“Trus, gimana yo, Mas?” tanyanya.
“Gini aja, Pak. Jenengan ke sini lagi besok pagi. Insya Allah Abasnya sudah
di sini,” kataku.
“Wah, ne’ koyo’ ngono yo bolak balik namanya, Mas. Aku harus ketemu Mas
Abas malam ini.”
“Kalo gitu, tunggu aja sampai menjelang subuh. Saat itu, pasti dia sudah di
masjid.”
“Wah, lama yo Mas...” katanya dan menggaruk kepala lagi.
Sejujurnya aku mulai bosan. Bagaimana tidak bosan, orang sedang tidur ko’
dibangunan, apalagi main rahasia-rahasiaan lagi. Dan yang paling membuat aku
kesal, nampaknya dia tak percaya padaku. Walau bertampang minimalis begini, apa
tampangku juga tampang penipu?
Tiba-tiba terdengar embikan kambing. Bukan yang diparkir di halaman tapi
dari mobil yang diparkir di jalan depan masjid.
“Itu kambing untuk korban ya, Pak?” tanyaku.
“Iya, Mas. Tapi kata Bos, harus diserahkan ke Mas Abas.”
“Ya, sudah. Di tunggu saja, Pak.”
“Tapi masih lamae. Aku harus pulang ke Malang Selatan.”
Aku berpikir sesaat, kemudian bilang: “Begini, Pak. Memang Abas itu yang
menulis qurban dari tiap orang, tapi saya termasuk didalam panitianya. Kalo
Bapak mau menitipkan ke saya, saya akan mencatat dan nanti akan saya
beritahukan ke Abas.”
“Tapi…”
“Tapi, kalau Bapak lebih memilih menunggu Abas, ya monggo saja,” kataku
memotong bicaranya.
Lelaki yang sudah tua itu berpikir cukup lama. Aku menunggu dengan sabar.
“Tapi dicatat to, Mas?” tanyanya.
“Ya, dicatat to, Pak. Nanti akan saya catat di buku, juga akan dicatat di
kardus dan dikalungkan ke leher kambing itu. Kalo jenengan tak percaya,
jenengan bisa datang lagi besok untuk melihat apa kambing itu masih di sini
atau saya bawa lari,” kataku panjang lebar.
“Ya, ndak harus begitu to, Mas. Aku percaya pada jenengan,” katanya dengan
wajah tersipu, mirip pencuri yang ketangkap basah. “Yo, wis, kambingnya ta’
turunkan.”
“Monggo, Pak.”
Kambing itupun diturunkan, kambing bandot besar warna hitam. Rupanya kambing
ini preman juga, dia langsung nyeruduk begitu melihat kambing lainnya. Si Bapak
kesusahan menarik bandot itu dan terpaksa aku turun tangan. Bandot itupun
diikat di tempat yang jauh dari yang lainnya.
Akupun mencatat nama yang punya bandot itu di buku serta di kardus dan
mengalungkannya ke kambing besar itu yang nampaknya manut ketika kardus itu
dikalungkan, dia kira kembang dari Hawai.
“Siapa nama jenengan, Mas?” tanyanya setelah semua selesai.
“Anuar Syukur, Pak. Bilang saja ke Bos, saya orang yang biasa tidur di
masjid. Bos pasti akan mencari tahu ke ta’mir masjid. Dan kalo Bapak belum
percaya juga, silahkan ke sini besok atau ketika lebaran,” uraiku.
“Jangan begitu to, Mas. Aku percaya jenengan ko’,” katanya, menyalamiku
sambil mengucap nuhun sewu karena telah mengganggu, dan pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar