Djudin Syukur,
demikian nama Papa—aku biasa memanggil beliau begitu. Beliau hanyalah orang
kecil yang menjadi guru SD sejak akhir 70-an. Awalnya beliau mengajar di SD
Motabang kemudian ke Tanoyan dan terakkhir di Tungoi sampai beliau meninggal di
hari kedua Idil Fitrih tahun 2000.
Ketika reformasi, cukup banyak aspirasi soal nasib Umar Bakri ini. Memang nasib para guru awalnya cukup memiriskan. Kami disekolahkan bukan hanya dari gaji Papa sebagai guru tapi kebanyakan ditunjang oleh hasil kebun. Selepas mengajar, biasanya Papa akan ke kebun dan pulang menjelang malam—bahakn beberapa kali tidur di kebun dan dari kebun ke sekolah. Mungkin ini yang membuat Papa meminta untuk pindah di SD Inpres Molayak yang tak jauh dari kebun kami. Walau saya katakan ke beliau bahwa tak lama lagi kehidupan beliau sebagai guru akan terangkat sehingga tak perlu lagi terlalu ngotot bekerja di kebun namun nampaknya beliau tak begitu percaya.
Ketika reformasi, cukup banyak aspirasi soal nasib Umar Bakri ini. Memang nasib para guru awalnya cukup memiriskan. Kami disekolahkan bukan hanya dari gaji Papa sebagai guru tapi kebanyakan ditunjang oleh hasil kebun. Selepas mengajar, biasanya Papa akan ke kebun dan pulang menjelang malam—bahakn beberapa kali tidur di kebun dan dari kebun ke sekolah. Mungkin ini yang membuat Papa meminta untuk pindah di SD Inpres Molayak yang tak jauh dari kebun kami. Walau saya katakan ke beliau bahwa tak lama lagi kehidupan beliau sebagai guru akan terangkat sehingga tak perlu lagi terlalu ngotot bekerja di kebun namun nampaknya beliau tak begitu percaya.
Wajar beliau tak percaya. Beliau meninggal waktu kehidupan guru masih benar-benar susah. Beliau adalah bendahara sekolah, anggaran yang paling besar bersumber dari BP3. Gajipun cuma diatas sedikit 1 juta, ketika beliau meninggal maka pensiun yang beliau tinggalkan untuk ibu sekitar 800 ribu.
Alhamdulillah, sekarang nasib guru sudah
sangat diperhatikan. 20% APBN yang membuat gaji guru bersertifikasi naik sampai
2 kali lipat setelah beberapa kali dinaikan teratur, dana Bos yang ratusan juta
pertahunnya untuk setiap sekolah, DAK Pendidikan sampai dana hibah yang
sifatnya swakelola. Saya meyakini orang tua saya gembira walau beliau tidak
sempat menikmati masa-masa menggembirakan ini.
Saat
perekrutan PNS masih dinasti, di mana pengangkatan PNS hanya berdasarkan Nomor
Induk Pegawai (NIP) yang lowong baik karena ada yang pensiun maupun ada yang
meninggal, beberapa pihak meminta saya untuk bersiap menggantikan beliau. Namun
saya menolak. Saya mungkin akan mengabdi, tapi bukan dijalur yang telah beliau
jalani. Mungkin saya akan merintis jalur lain, yang jelas bukan dijalur beliau.
Ternyata jalur
yang saya coba tekuni tak sangat dekat dengan jalur yang almarhum tekuni. Dalam
dunia penulisan, jelas tak ada yang menjadi guru sehebat apa pun seseorang
menulis. Dalam dunia penulisan, yang ada hanya share pengalaman. Namun untuk menciptakan kader kepenulisan, adanya
tetap di lembaga pendidikan. Tentu, dalam segmentasi dunia kepenulisan, dunia
pendidikan tetap factor yang sangat diperhitungkan. Terlebih saat ini
pemerintah sedang mengkampanyekan budaya baca. Di sekolah pun, pengadaan buku terbuka
lebar mulai dari pengadaan ditingkat pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, sampai
pengadaan oleh sekolah sendiri. Saya berharap sekolah bisa menjadi lokomotif
kampanye ini, juga dapat menjadi kawah candra dimuka dalam pengkaderan penulis.
Walau pahlawan
tanpa tanda jasa, guru memang agak berbeda dengan institusi lain yang juga
mencetak cukup banyak pahlawan. Setahuku, guru hanya punya PGRI sehingga anak-anak
guru yang sudah orang tuanya telah pension atau meninggal sudah terlepas sama
sekali dari profesi orang tuanya. Sementara institusi lain punya organ yang
menaungi keturunan mereka sehingga akan mudah dalam berkomunikasi dengan
institusi tersebut.
Tentu saja ini
cukup baik sehingga terhindar KKN dalam institusi guru. Dalam hal ini tentu
saja saya tak mengatakan bahwa institusi lain yang punya organ untuk keturunan
mereka telah melakukan KKN.
Negatifnya,
tali silaturahmi sudah terputus. Pun penguatan institusi keguruan juga susah,
termasuk dalam mengkomunikasikan program yang akan membawa kemaslahatan untuk
semua.
Ini agak
berbeda dengan institusi lain yang mempunyai organ, bahkan ketika institusi ini
bermasalah maka tak jarang muncul pembelaan dari organ.
Saya pernah
merasa ditolak oleh guru, bahkan ketika rekomendasi Diknas Kota Kotamobagu yang
meminta agar sekolah-sekolah menjadikan buku-buku saya menjadi buku bacaanpun
saya mendengar dari penolakan maupun pengabaian dari guru-guru. Tapi bukan
karena kecewa yang membuat saya menulis. Dalam kesadaran yang tinggi, saya
merasa cukup tahu diri. Saya ini toh bukan siapa-siapa. Justru dukungan dari
guru-guru yang membuat saya bersemangat untuk menuliskan ini.
Di penghujung
2011, tepatnya 3 Desember, saya meluncurkan 5 judul novel. Berbeda dengan 3
peluncuran sebelumnya, kali ini aula kantor Walikota Kotamobagu dipenuhi siswa
dan guru serta masyarakat. Saat tanya jawab, dua orang guru langsung meminta
pada Diknas agar dibuatkan kebijakan sehingga novel-novel ini bisa sampai ke
sekolah mereka. Keberanian mereka meminta menurutku luar biasa.
Kepedulian
para guru ini jelas bukan karena saya masih anak seorang guru karena mereka
belum tahu tentang keberadaanku--bahkan mereka belum mengenal diriku. Saya tahu
bahwa kepedulian mereka ini semata-mata karena mereka terpanggil untuk memberi
apresiasi positif terhadap kreatifitas anak daerah. Saya sangat berharap
apresiasi ini mewujud lebih nyata lagi.
Saya bermimpi,
dengan adanya berbagai fasilitas berbentuk kebijakan yang ada di
sekolah-sekolah sekarang, saya bisa menjalin kerjasama. Novel-novel saya yang
berlatar daerah bisa masuk sekolah, juga bisa bersama-sama dengan siswa (dan
juga guru) belajar tentang kepenulisan. Out put dari belajar bersama menulis
ini adalah buku yang selain edar di tengan masyarakat, juga dikonsumsi di
sekolah-sekolah.
Semoga apa
yang kita harapkan mewujud dalam kenyataan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar