Mobois, salah satu komunitas penulis daerah |
Tulisan itu mengukir keabadian. Mungkin
kata-kata seorang teman diatas agak berlebihan. Saya katakan berlebihan karena
tulisan dibuat disatu ruang dan waktu tertentu yang jelas akan berubah pada
ruang dan waktu yang lain. Padahal kata banyak orang yang pintar dan bijak,
yang abadi adalah perubahan itu sendiri.
Tapi saya agak
setuju dengan peletakan fungsi tulisan sebagai media untuk mengisahkan suatu
peradaban. Socrates, Plato, dan lainya telah mengisahkan bagaimana peradaban di
Yunani sebelum masehi. Pencipta huruf paku di Mesir juga membuat kita dapat
mengetahui kisah di Mesir pada suatu masa, begitu juga dengan Babad Tanah Jawi
yang mengisahkan tentang Jawa, Lontara Bugis di selatan Celebes, dan lainnya.
Satu hal yang melemahkan kita (masyarakat Bolaang Mongondow Raya) dibukti tertulis ini. Bisa dikatakan kita tak punya peninggalan tertulis yang menerangkan tentang keberadaan kita. Walau saya sendiri tak pernah sangsi untuk menuliskan sejarah kita sekalipun hanya versi saya karena tak ada sanksi dalam penulisan sejarah, namun kekurangan bahan tertulis juga cukup menyusahkan. Beruntung sejarah kita dituliskan oleh orang lain seperti di Minahasa, Halmahera, dan dituturkan di Sangihe dan Talaud.
Kita juga
cukup beruntung karena bahasa kita dapat ditelusuri sampai di Filiphina, juga
keberadaan kita sebagai ORANG KOTA cukup baik untuk membawa daerah kita yang
belum begitu dikenal ini ke luar.
Banyak yang
meragukan sejarah kita dan itu baik untuk pengkritisan. Kita memang tidak punya
cukup bukti tertulis tentang kegemilangan maupun keterpurukan kita.
Tulisan,
tulisan, tulisan.
Kita selalu
menyesalkan soal tulisan ini. Kita memang terbiasa dengan bahasa oral. Bahkan
daerah kita pun terbentuk dari teriakan—Mongondow berasal dari kata “momondow”
yang berarti “berteriak”. Walau saya kadang-kadang mengajukan kata “Totabuan”
yang menurut sudut pandang saya lebih menarik dibandingkan “Mongondow” karena
kata “Totabuan” dikaji dari sejarah sedang “Mongondow” dari tingkah laku. Ini
agak berbeda dengan daerah lain yang berasal dari nama yang mengandung filosofi
yang begitu mendalam.
Tapi daripada
berlarut-larut dalam penyesalan, lebih baik kita bangkit dan memulai.
Alhamdulillah
saat ini suda banyak penulis kita yang rata-rata lahir dari rahim media. Ada
Katamsi Ginano, Suhendro Boroma, Hairil Paputungan, Mat Alheid, Junius
Dilapanga, dan lain-lain. Saya pribadi mencoba meletakan sebutir pasir dalam
ruang yang kusebut dunia penulisan ini.
Kesulitan Dunia Penulisan Daerah
Ketika
peluncuran novel pertama saya, Perjuangan Keluarga Tertindas, Drs. Hamri
Manoppo yang menyayangkan kembalinya saya ke kampung halaman dan meminta saya
untuk kembali ke Jawa. Tujuan beliau baik, yaitu agar saya bisa berkembang
karena beliau meyakini saya akan susah berkembang kalau cuma di daerah.
Saya
membenarkan pernyataan beliau karena saya merasakan sendiri. Saat di Jawa, bisa
dikatakan saya makan dari tulisan. Artikel saya lolos di beberapa media, dari sana
saya mendapat honorarium dari media dan dibayar kampus. Di penulisan cerita,
selain beberapa Cerpen, juga ada Cerita Bersambung yang diterbitkan oleh Malang
Post dan koran Sinar Harapan Jakarta.
Juga sudah keluar novel Jatuhnya Sang Bintang terbitan Balai Pustaka.
Menurut senior
saya yang telah menjadi penulis terkenal, saya telah menaiki tangga kepenulisan
walau masih ditangga dasar. Kalau ulet, saya bisa naik tangga berikutnya walau
harus bersusah-susah. Saya tidak pamit ke beliau ketika pulang dan beliau cukup
marah ketika tahu saya sudah di kampung halaman. Menurut beliau, saya telah melakukan
tindakan bodoh dan sekarang bukan hanya kembali ke titik nol tapi minus. Jika
pun saya kembali ke Jawa maka saya harus berusaha seperti awal lagi. Dan senior
saya ini benar. Tulisan saya di blog yang saya kirim link-nya ke beberapa media
hanya diambil beberapa, itu pun yang hanya bersifat news.
Dari
pengalaman pribadi, saya membenarkan Pak Hamri Manoppo. Namun saya sudah di
sini dan saya ingin mencoba menuliskan tentang daerah saya. Walau yang saya
tuliskan kebanyakan bentuknya cerita namun akan sulit bagi saya jika tidak
berada di tengah alam yang akan kuceritakan. Karena itu saya memilih bertahan.
Kesulitan
datang. Ke mana tulisan-tulisan ini akan diterbitkan. Ketika bicara penerbit
mayor, maka mereka akan menghitung—termasuk dan terutama pangsa pasar. Dua
cerita panjang saya yang diterbitkan bersambung di Malang Post dan Sinar
Harapan bukanlah cerita yang terkait dengan daerah. Dan harus jujur saya
katakan bahwa yang terkait dengan daerah telah ditolak. Alasannya jelas,
pembaca sedikit!
Untuk
mengatasinya, saya berinisiatif mendirikan penerbit sendiri yang diberi nama
Gerbang Pasifik. Untuk konsumsi local dan teman-teman, hanya ditangani oleh
Gerbang Pasifik. Untuk edar di luar Sulut, dilakukan kerjasama dengan penerbit
lain yang berskala nasional. Yang jadi kendala berikutnya adalah anggaran
penerbitan.
Saya pikir
semua pihak berpikiran sama, terlebih mereka yang menggebu-gebu menyatakan diri
akan memajukan daerah dengan menjadi pengambil kebijakan. Karena itu saya
mencoba mengkomunikasikan dengan Pemerintah dan individu. Walau dibeberapa
tempat saya dikecam karena telah menjadikan buku/novel laksana Koran namun saya
tak begitu menanggapi. Saya piker, mereka akan sadar ketika ketika mereka
melakoni sendiri.
Setelah
ditambah dengan usaha lain-lain—termasuk menguras tabungan dari warung dan
RUMAH DINANGOI, partisipasi-partisipasi ini telah membuahkan hasil. Sekarang
Anda bisa ke Gramedia se Jabotabek, Bandung,
Makasar, Lampung, Batam dan mencari novel dengan cover dearah. Novel ini
berjudul JATUHNYA SANG BINTANG yang endorsement di cover belakang ada Wakil
Walikota dan Ketua DPW PAN Sulut, Ir. Tatong Bara dan Kepsek SMK Cokroaminoto
yang juga Ketua SI Kotamobagu, Hi. Aria Suka Malah, ST, juga menerakan logo
daerah se Bolmong Raya.
Penerbitan
novel Jatuhnya Sang Bintang dapat diterbitkan berkat sumbangsi dari Pemkot
Kotamobagu, Djelantik Mokodompit dan Hi. Aria Sukma Malah, ST. Sedang yang
lainnya, sampai detik ini belum memberikan sumbangsi walau nama mereka telah
diterakan.
Saat ini,
sedang dipersiapkan novel yang berjudul RELASI HITAM SANG AKTIVIS—novel yang
mengetengahkan ketokohan aktivis asal Bolmong Raya dalam reformasi. Novel ini
sudah masuk di dapur editor tapi menunggu donator untuk percetakan.
Akhir
Ketika bicara tentang
dunia penulisan di Bolmong Raya, cukup banyak yang memandang nyinyir ke saya.
Mereka bilang ini hanya kepentingan pribadi saja. Tapi semua itu tentu tak
menyurutkan langkah. Walau bergerak perlahan namun tetap dilakukan. Mogaid kon
onu in ko’aidan.
Sekarang cukup
banyak yang meminta dengan penuh harap. Alhamdulillah. Namun saya bukanlah
penyihir yang cukup mengatakan sim salabim. Jika mau cepat maka mari kita
saling memberikan kekuatan. Tulisan ini terutama ditujukan pada pengambil
kebijakan yang ada di pemerintahan atau mereka yang “ingin menjadi” pengambil
kebijakan. (Anuar Syukur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar