foto : google; ilustrasi : pribadi |
Kami pun mengangkati karpet-karpet itu ke lapangan tenis yang berjarak
sekitar 25 meter dari masjid. Untung Pak Bas telah menyediakan mobil
pengangkut, tenaga juga ketambahan dua Satpam sehingga karpet terngkut semua ke
lapangan tenis.
Di lapangan tenis sudah ada belasan orang tua, para mantan birokrat yang
kebanyakan sudah terjun ke dunia bisnis. Sifat birokrat mereka nampaknya masih
melekat, maka jadilah aku, Andi dan Mahdi sebagai bawahan mereka. Belasan bos
dan tiga anak buah, nyaris sama dengan satu prajurit dengan puluhan jenderal.
Dua Satpam nampaknya sudah mencium gelagat tidak baik ini sehingga mereka
segera melepaskan diri. Dengan alasan nanti bisa saja ada teroris yang menyusup
ketika pembagian daging korban yang besok sehingga mereka harus kembali ke pos
penjagaan, bebaslah mereka. Abas pergi ke pesantren sejak pagi dan sampai malam
ini belum juga kembali, rupanya Abas telah mengendus sejak awal.
Walhasil, setelah sebelas kali mencoba konsep-konsep yang ditelorkan,
pekerjaanpun selesai lewat jam sebelas malam. Harus juga diakui, semuanya bisa
selesai karena Pak Bas. Ketika konsep kesebelas sudah diselesaikan, seorang
yang baru datang masih nyeletuk namun langsung dipotong oleh Pak Bas.
“Jadi bapak-bapak, besok itu kita akan sholat jam 7 pagi, sekarang sudah
masuk jam 12 malam. Anak-anak kita ini juga sudah kecapekan padahal mereka
harus menyimpan tenaga untuk besok karena pasti mereka akan jadi kurir kita
(Pak Bas menatap ke arah kami ketika mengucapkan ini). Karena itu....”
Seorang bapak memotong pidato Pak Bas, rupanya dia tak begitu senang kami
dipuji-puji, juga dia tak senang karena harus mendengarkan Pak Bas pidato.
****
Walau tidur telat namun kami tetap bangun pagi, setelah sholat subuh dan
menghabiskan kopi kami pun antri di kamar mandi. Kami harus berdandan rapih
demi sebuah mimpi, siapa tahu ada perawan penghuni perumahan atau mungkin ada
orang tua penghuni perumahan yang mempunyai anak perawan, yang tertarik pada penmpilan
kami yang memang sudah habisan. Kalau tidak perawan, janda juga tak
apa-apalah—yang penting janda kembang yang punya rumah di perumahan. Maksa
banget ya mimpinya, hehehhe...
Jam setengah tujuh kami berbaris ke lapangan, Abas dipandang sebagai
komandan sehingga dia di depan. Lapangan ternyata sudah hampir penuh, aku
menggeleng kepala melihat antusiasme warga perumahan megah ini. Mereka
terkadang terlihat borju dalam penampilan tapi ternyata sangat antusias
mengikuti ritual keagamaan. Penampilan memang tak boleh membuat kita mengambil
keputusan dalam menghakimi hati.
Sejenak arah pandang kami ke shaf perempuan, tapi nenek-nenek saja tak
mengacuhkan kami, apalagi perempuan yang masih berstatus perawan. Hiks, sedih
juga sih, masak kan sudah maksimal dalam merapihak diri kemudian dipandang
seperti tak ada begini, tapi ya dinikmati saja hari ini. Hari ini toh hari
kurban, tak apalah berkurban perasaan L.
Kami pun ke shaf lelaki (harus lah, masak gabung sama shafnya perempuan?),
di dekat Syech Abdullah—warga Arab Saudi yang melakukan study banding ke
beberapa kampus di Malang. Syech Abdullah sudah mahir bahasa Indonesia,
sementara temannya yang biasa kami panggil Syech Umar belum lancar berbahasa
Indonesia. Keduanya sering menyambangi kami di masjid, membawakan makanan atau
kue atau buah-buahan dan walau Umar belum bisa berbahasa Indonesia (apalagi
bahasa Indonesia yang baik dan benar, hehe) namun kami akrab
bercakap-cakap—kadang nyambung tapi lebih banyak tidak karena Syech Umar selalu
mengatakan “afwan” dengan kening berkerut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar