"Wah, kalau teke'nya sebesar ini berapa harganya ya?" (foto : google) |
Malam itu kami harus menyiapkan lapangan olahraga milik perumahan untuk
sholat id besok. Jama’ah cukup banyak yang membantu namun rata-rata sudah di
usia senja, pensiunan birokrat pula. Jelas kami yang lebih diandalkan
tenaganya. Untunglah Mahdi dan Andi belum ke luar.
Sebenarnya tepatnya tidak demikian. Mahdi dan Andi hanya datang untuk
menengokku karena semalam mereka tak pulang. Dan keduanya sudah bersiap kembali
ke luar ketika keadaan ternyata aman. Namun, keduanya baru saja pamit padaku,
datang Pak Bas.
“Mau ke mana lagi kalian berdua? Orang-orang sedang sibuk ko’ malah kalian
pergi. Pokoknya, malam ini kalian harus membantu menyiapkan tempat sholat id
besok. Setelah itu selesai baru kalian bebas ke mana saja,” kata Pak Bas tegas
yang membuat keduanya tak bisa berkutik. Kasihan juga sih sebetulnya! hehehe.
Kami pun bergerak cepat. Karpet yang sudah tersimpan lama di gudang masjid kami bongkar. Tenaga benar-benar hanya kami berempat karena tak mungkin mengandalkan para ta’mir masjid yang rata-rata sudah di atas 60 tahun.
Saat membongkar karpet itu, Mahdi tiba-tiba berteriak: TEKEEEEEEEE’....
Aku terloncat, juga Andi. Terlihatlah binatang mirip kadal itu, berwarna
putih, masih kecil tapi bisa jadi besar. Terlihat dia ketakutan, kakinya
gemetaran, matanya memandang hampa pada kami bertiga. Mungkin dia seperti kami
juga, kaget dengan teriakan Mahdi.
“Tangkap tapi pelan-pelan, jangan membikin dia takut, nanti berat badannya
turun,” bisik Mahdi pada kami, matanya sengaja dijuling-julingkan dan suaranya
sungguh lirih—mungkin maksudnya agar si toke tak mendengar, hehhe...
Kami pun cepat-cepat ke arah si toke, tapi berusaha seperti pesawat
jet—suara berada di belakang gerakan. Si teke nampaknya bingung dengan gerakan
kami yang tiba-tiba. Sangat nampak dia akan menyerah. Dia sudah mundur sampai
ke sudut kamar, si toke benar-benar tersudut. Tangan kami sudah terbuka semua,
siap menerkamnya.
Tiba-tiba (malas sebenarnya menggunakan kata ini, tapi bingung juga
memikirkan kalimat lainnya).
“Booooooo”
Konsentrasi kami langsung hilang, menguap pergi entah ke mana. Kesempitan
ini dipergunakan si toke dengan sebaik-baiknya, dia meloncat dari satu karpet
ke karpet lainnya—bahkan masih sempat bergerak menyerang Mahdi. Mahdi yang
merasa dipecundangi berusaha menguber, namun apa daya Mahdi seorang menghadapi
kelincahan si toke.
“Abooooo”
Kami memalingkan wajah ke belakang dan terlihatlah wajah Pak Bas yang terus
menggeleng-geleng mirip bintang filem india. Aku dan Andi membiarkan Mahdi yang
masih terus penasaran dengan toke.
“Mahdi !!!!!”
Bentakan Pak Bas sukses menarik perhatian Mahdi dan mengagetkan kami. Mahdi
melongo memandangi Pak Bas. Menurut yang kudengar dari Andi, Mahdi anak
satu-satunya yang sangat dimanja orang tuanya. Kalau di kampung, nyamuk saja
akan diusir satu-satu jika hinggap di badan Mahdi. Lha, di sini malah Mahdi
dapat bentakan.
“Sudahlah, jangan kau pikir lagi teke itu. Jika kau mengejarnya sekarang,
tenaganya sudah ratusan kali lipat, pikirannya pun lebih dahsyat—dia bisa
bersembunyi di mana saja kalau kau mengubernya sekarang. Tapi yakinlah,
sepandai-pandainya teke meloncat, suatu saat akan jatuh juga. Nah, pada saat
itulah giliran kau menangkapnya dengan mudah. Dan itu akan baik bagi kau karena
pasti dia sudah besar, harganya sudah tinggi. Kalau sekarang, kau masih harus
memeliharanya. Kalau salah memelihara, bisa-bisa dia mati. Jadi ikhlaskanlah
dia pergi, ta’ iya,” nasehat Pak Bas
sambil menepuk pundak Mahdi.
Kami semua menunduk mendengar nasehat Pak Bas, Mahdi bahkan sampai
menghirup ingus—mungkin dia menangis.
“Sekarang waktunya kita berbuat untuk akherat, kalau akherat beres pasti
dunia akan ikut. Ayo angkat karpet-karpet itu, hari raya Idil Adha tak mungkin
di tunda!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar